Sejak kapan mitos ‘Ratu Adil’ muncul masih butuh penelitian dan
pengkajian mendalam. Namun bisa
diperkirakan semasa dengan lahirnya ‘Jangka Jayabaya’ dan ceritera mitos
tentang ‘Sabdapalon Nayagenggong’. Bila
dirunut melalui literatur Jawa yang ada, maka lahirnya mitos-mitos tersebut
pada jaman ‘Kapujanggan’ di Keraton Surakarta.
Suatu masa yang bisa disebut sebagai ‘jaman keemasan Jawa’ di bidang
sastra, budaya, dan merupakan ‘kebangkitan’ spiritualisme Jawa.
Jaman kapujanggan saya sebut sebagai ‘masa kebangkitan spiritualisme
Jawa’ dengan alasan bahwa di jaman itu para pujangga telah menghasilkan
karya-karya sastra spiritual Jawa melanjutkan ‘kesadaran Jawa’ yang dirintis
pada jaman Sultan Agung. Dimana pada
pemerintahan Suiltan Agung ini mulai disusun kembali: aksara Jawa ‘hanacaraka’,
kalender Jawa, dan piwulang spiritualisme Jawa ‘Sastra Gendhing’.
Kepiawaian para pujangga bahwa karya-karyanya selalu dirujukkan ke
masa sebelumnya. Baik masa masuknya
budaya dan peradaban Hindu-Buddha maupun masa mulai masuknya budaya dan
peradaban Islam. Termasuk kepiawaian
tersebut, para pujangga selalu ‘mengakukan’ karyaciptanya sebagai karya para
wali atau raja yang berkuasa. Hal ini
seperti melanjutkan tradisi para empu-empu penyusun kitab-kitab kakawin yang
selalu menyatakan karyanya atas perintah atau persembahan kepada para raja.
Menariknya, ketika kita kaji karya sastra yang ‘nyebal’, para
pujangga tidak pernah mencantumkan jatidirinya atau menggunakan nama
samaran. Contohnya: Serat Darmagandhul
dan Gatholoco, pujangganya menyebut dirinya ‘Ki Kalamwadi’ yang arti harfiahnya
kemaluan laki-laki (penis). Sedang karya
sastra yang mewacanakan mitos ‘Ratu Adil’ tidak diketahui penulisnya. Kalau toh kemudian muncul ‘nama-nama dugaan’
adalah asumsi-asumsi dari para peneliti.
Sebut saja nama peneliti Jawa dan ke-Jawa-an: Drewes, Akkeren, dan
sejumlah nama lain (asing dan pribumi).
Kita boleh membangun banyak
pendapat tentang maksud dan tujuan para pujangga yang menyembunyikan diri
ketika menulis karya-karya yang nyebal.
Boleh kita asumsikan bahwa para pujangga tersebut ‘ketakutan’ terhadap
penguasa (Keraton dan Pemerintah penjajah Hindia Belanda). Boleh juga kita asumsikan mengandung
kepentingan mendukung dan ‘melawan’ sebaran agama Islam dan Kristen. Artinya, kita boleh menduga bahwa kelahiran
mitos-mitos dan ramalan (termasuk mitos Ratu Adil) bermuatan nuansa politik di
jaman itu. Nuansa politik yang saya
maksud adalah ‘benturan antar peradaban’ Islam-Kejawen-Sekuler Barat (Belanda). Dampak benturan mengakibatkan ‘gegar’ pada
budaya dan peradaban Jawa yang kemudian mengusik nurani para pujangga (sujana
sarjana). Karya sastra ‘nyebal’
merupakan ekspresi nurani para pujangga yang terusik tersebut.
Mitos ‘Ratu Adil’ sejak kelahirannya
sudah bermuatan politik kepentingan macam-macam. Salah satu buktinya adalah ‘Babad Kediri’
yang ternyata merupakan ‘pesanan’ dari Residen Hindia Belanda yang ditempatkan
disana (Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil). Muatan politisnya berupa ‘perlawanan’ kaum
Kejawen (Jawa Pedalaman) terhadap sebaran agama Islam. Pada babad ini disebutkan bahwa akan datang
‘Ratu Adil’ sebagai penjelmaan Raja Jayabaya yang akan membangun kembali
kejayaan Jawa.
Mitos ‘Ratu Adil’ kemudian
banyak disinggungkan dengan cerita ramalan yang populer dengan sebutan ‘Jangka
Jayabaya’. Dan ketika muncul kemudian
tentang mitos ‘Sabdapalon Nayagenggong’, wacana datangnya ‘Ratu adil’
disinggungkan dengan mitos ‘Satria Piningit’.
Hal ini nampak jelas termuat dalam ‘Serat Darmagandhul’, dimana
disebutkan bahwa ‘Satria Piningit’ yang akan mengentaskan Jawa adalah momongan
‘Sabdapalon Nayagenggong’.
Pengentasannya, diceriterakan dengan melakukan ‘pencerahan kembali’ akan
jatidiri Jawa. Tersebut pada pupuh Pangkur sebagai berikut:
1.
Sabdapalon
aturira, datan kesah amanggen wonten ngriki, mung netepi nami ulun, nami Ki
Lurah Semar, kula nglimput saliring samar kang wujud, anglela ampungan padhang,
den enget Sang Nata benjing.
2.
Yen wonten manusa
Jawa, Jawi angangge mata siji, nami sepuh gaman kawruh, niku momongan-kula,
tiyang jawan sun-wruhke bener lan luput, sigra tedhak Sri Narendra, arsa
ngrangkul den inggati.
3.
Palonsabda
Genggongnaya, samya musna kadhung Sri Narapati, kalangkung pangungunipun,
njethung anenggak waspa, angandika he Sahid kawruhanamu, ing besuk nagri
Blambangan, aran nagri Banyuwangi.
4.
Ya iku
tengeranira, Nayagenggong bali mring tanah Jawi, anggawa momonganipun, mata
siji kang wignya, wani lungguh anjajari maring ingsun, tan wruh asal sobat
kenal, yen nakal binuwang tebih.
5.
Tyasira angkara
murka, kumet loma krenah pitenah dadi, dana kawruh dana laku, mrih arja tanah
Jawa, Sabdapalon isih ana sabrang nglimput, tengerane iki sendhang, banyune yen
mari wangi.
6.
Wong Jawa ganti
agama, akeh tinggal agama Islam benjing, aganti agama kawruh, Sunan Kali
turira, yen makaten utaminira Sang Prabu, kula prayogi mbekta, toya wangi
sendhang niki.
Penulis
Serat Darmagandhul menyembunyikan identitas dirinya sebagai ‘Ki Kalamwadi’.
Nama samaran ini kemudian menimbulkan banyak dugaan-dugaan dari para
peneliti. Ada yang menduga sebagai nama
samaran pujangga R.Ng. Ranggawarsita, ada yang menyebut nama samaran dari Kyai
Ngabdulah Ibrahim Tunggul Wulung (mantan santri yang kemudian menjadi penginjil
di wilayah Kediri di awal abad 19 M,).
Dugaan
bahwa penulis Babad Kediri, Serat Darmagandhul, dan Serat Gatholoco adalah
Ngabdulah Tunggul Wulung (Drewes dan Akeren yang dikutip Bambang Noorsena)
menjadikan mitos ‘Ratu Adil’ di-’kristen’-kan atau dimuati gerakan misionaris
Kristen di Jawa.
Pada
perkembangan selanjutnya, para peneliti Muslim menduga bahwa mitos ‘Ratu Adil’
sebagai pengadopsian kepercayaan akan hadirnya ‘Imam Mahdi’ yang akan muncul
kembali menjelang kiamat nanti.
Wacana
hadirnya ‘Ratu Adil’ yang disinggungkan dengan Yesus Kristus yang akan turun
kembali dan Imam Mahdi yang juga akan muncul kembali kiranya terlalu
berlebihan. Masalahnya, turunnya Yesus
dan munculnya Imam Mahadi berkaitan dengan akan datangnya hari kiamat. Sementara mitos ‘Ratu Adil’ (Jangka Jayabaya,
Sabdapalon Nayagenggong, dll.) adalah wacana ‘kerinduan’ umat Jawa akan
hadirnya suatu ‘pemerintahan negara’ yang adil dan mampu mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat. Suatu
kerinduan yang membumi dan mungkin terjadi. Kenyataan sejarah, pada jaman sebelumnya
Jawa pernah mencapai ‘pemerintahan negara’ yang dirindukan rakyat
tersebut. Pada serat-serat
kapujanggan, jaman keemasan Jawa disebutkan pada jaman Jayabaya (Kediri) dan
Brawijaya (Majapahit). Perlu juga dikaji
jejak sejarah yang memberi peninggalan Borobodur dan Prambanan untuk
membuktikan hal tersebut.
Mitos ‘Ratu Adil’ bila kita selisik mendalam adalah ungkapan
pujangga yang mewakili ‘suara rakyat tertindas’. Atau bisa disejajarkan dengan wacana yang
digulirkan Bung Karno, ‘Amanat Penderitaan Rakyat’ (Ampera). Maka dengan
sendirinya mitos tersebut akan selalu hidup di batin rakyat yang mendambakan
pemerintahan negara yang berpihak kepada nasibnya.
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa berabad-abad lamanya rakyat Jawa
begitu intensif mendapatkan pengajaran kisah Mahabharata dan Ramayana lewat
pagelaran wayang. Maka sebenarnya
internalisasi ‘kesadaran bernegara’ telah sedemikian rupa tertanamkan dalam
hati sanubarinya. Epos Mahabharata dan
Ramayana bagaimanapun menceriterakan tentang etika bernegara. Pada cerita Ramayana tentang konflik antar
negara, sementara Mahabharata menyajikan perebutan kekuasaan dalam sebuah
negara (Hastina). Maka kedua cerita ini
(versi Jawa) dikembangkan sedemikian rupa bermuatan ‘kearifan Jawa dalam
bernegara’. Contohnya, para
satria-satria kerajaan manapun selalu diberi ‘bumi kesatrian’. Cerminan pranata sosial Jawa di jaman dahulu
berupa ‘tanah perdikan’ dan ‘kabuyutan’.
Wacana ini bisa dikaji untuk ‘merumuskan’ sistim ‘otonomi daerah’ yang
berpijak pada kearifan asli Jawa dan Indonesia.
Perlu
dicatat, setiap pagelaran wayang selalu dibuka dengan ‘janturan pambuka’: “Swuh
rep data pitana, negari pundi ta pinangka pambukaning carita. Inggih negari …
(Nuswantara) kang kaeka adhi dasa purwa,
gemah ripah lohjinawi, tata tentrem kerta lan raharja ….. dst.” (Syahdan
kisahnya, negara mana yang dijadikan pembuka ceritera. Ya, negara … (Nusantara) …. Yang merupakan
satu dari sepuluh besar dunia.
Berkedaulatan dan dihormati negara lain, serba ada dan murah segalanya,
subur buminya, aman makmur dan sejahtera ..) à Cita-cita
normatif Jawa dalam hal bernegara.
Janturan
pambuka pagelaran wayang bukan sekedar untaian kalimat indah, tetapi juga
mengandung kekuatan ‘mantra’ yang dimuatkan pada pakem irama, laras, dan pathet
sulukan. Gunanya untuk menanamkan
(internalisasi) cita-cita bernegara ‘ala Jawa’.
Mungkin oleh budaya peradaban lain hal ini kurang dimengerti, maka
sekedar dinilai sebagai ‘untaian kalimat indah’.
Ketika
internalisasi bernegara sudah berjalan lama, maka rakyat Jawa berpandangan
bahwa negara adalah kanugrahan
(berkah) dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukan sekedar kontrak politik sebagaimana
teori modern dari Barat.
Dipandang
sebagai berkah, maka negara mestinya dipimpin seorang ‘ratu’ yang adil dan arif
bijaksana. Pada wacana inilah, Jawa
memandang bahwa pemimpin negara adalah orang yang ‘kewahyon’. Ketika pemimpin bukan yang ‘kewahyon’, maka
tidak membawa ‘berkah’ bagi rakyat.
Persoalan
hingga lahir mitos ‘Ratu Adil’, bahwa pada kenyataannya pemerintah keraton dan
penjajah Hindia Belanda jaman itu, jauh dari kriteria adil dan bijaksana. Sementara rakyat yang mendambakan perubahan
sudah tidak memiliki daya dan kekuatan. Demikian pula para ‘sujana sarjana’
(pujangga) yang hatinya berpihak kepada rakyat dibatasi ruang geraknya. Maka kemudian mereka menggulirkan wacana
‘pemberontakan’ dengan melahirkan mitos akan hadirnya ‘Ratu Adil’. Dengan
demikian, mitos ‘Ratu Adil’ bisa kita asumsikan sebagai ‘pemberontakan’ kaum
cerdik pandai Jawa dalam mengupayakan perubahan sosial masyarakat.
Di
jaman ini, meski tidak ada upaya pemberdayaan apapun, mitos akan hadirnya ‘Ratu
Adil’ tetap ada di sanubari rakyat tertindas, terpinggirkan, dan
terabaikan. Getaran mitos tersebut
secara alamiah akan semakin berkobar yang makna harfiahnya: kecewa
terhadap pemerintahan yang ada.
Apa
mau dikata, ketika perjalanan sejarah hingga saat ini sekedar melahirkan
karakter yang jauh dari kepatriotan yang memuat ‘rasa bangga memiliki dan
menjadi Indonesia’. Sebagian besar
diantara kita telah terjangkiti virus karakter yang akan menjerumuskan bangsa
dan negeri ini ke ‘kiamat peradaban’.
Virus watak yang saya maksud: nyadhong, nggemblong, nyolong, nggarong,
dan ndomblong.
Oleh karena itu, ‘Mitos Ratu Adil’ yang masih dipercayai rakyat akan
memelihara sikap kritis terhadap keadaan negara dan bangsa yang sangat jauh
citranya sebagaimana yang ada pada nurani rakyat, ‘negara adalah berkah
Tuhan’.
Pada
dasarnya, mitos ‘Ratu Adil’ bisa dijadikan tema gerakan rakyat untuk bisa
menghadirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar negarawan. Peluangnya ada, karena sistim rekruting
pemimpin secara pemilihan langsung oleh rakyat.
Persoalannya, bagaimana menanamkan kesadaran kepada rakyat pemilih untuk
bisa memberikan suara kepada tokoh pilihan yang negarawan tersebut. Untuk itu, penting diinternalisasikan
piwulang dalam Serat Wulangreh yang mengarahkan untuk memilih pemimpin yang
bukan botoh, durjana, pemadat, dan orang berjiwa bakul saudagar.
Rakyat
pendamba hadirnya Ratu Adil pada kenyataannya lugu, sederhana, dan sudah pada
posisi ‘kalah’. Maka merupakan tantangan
bagi para ‘sujana sarjana’ jaman ini untuk memandu pencerahan akan
hak-haknya. Perlu diingat pesan R.Ng.
Ranggawarsita, hendaknya para sarjana sujana tidak ikut ‘kelu kalulun ing
kalatidha’. Ikut-ikutan menjadi
pengkhianat Amanat Penderitaan Rakyat.
Berwatak nyadhong, nggemblong, nyolong, nggarong, dan
ndomblong.
Gusti
tidak sare, dan alam semesta akan selalu melakukan seleksi alamiahnya. Peringatan kepada siapapun untuk tidak ‘ngundhuh
wohing pakarti, diwelehake jaman’
(by:Ki Sondong Mandali- Semarang)