Powered By Blogger

Jumat, 12 Maret 2010

PERAN BUDAYAWAN DAN MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN NILAI SOSIAL BUDAYA

A. Latar Belakang
Masyarakat manusia dapat dianggap beradab, apabila masyarakat itu memiliki adat-istiadat yang selalu dijaga, ditaati, dan dijalankan.Karena dengan menjalankan adat-istiadat itu, maka masyarakat manusia menjadi kenal nilai-nilai sosial budayanya antara yang baik dan yang tidak baik. Tegasnya adat-istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat keduanya ibarat sekeping uang logam yang beda sisinya, tetapi pada hakikatnya satu adanya.
Pada saat ini, yakni yang dikatakan era kesejagatan, bangsa kita lebih-lebih orang Jawa telah mengalami perubahan yang dahsyat, sehingga sesuai dengan watak adat-istiadat yang senantiasa akan berubah, maka berubah pula tata pandang nilai sosial budaya masyarakat pemilik adat-istiadat itu.
Adat-istiadat sering diartikan kebiasaan atau pranata kehidupan yang seharusnya ditaati oleh pemilik adat-istiadat itu. Akan tetapi karena adat-istiadatnya berubah, maka berubah pula pranata atau kebiasaan yang dimiliki masyarakat pemilik adat-istiadat itu.
Misalnya: Adat-istiadat memakai kain dan kebaya buat gadis Jawa pada masa dahulu, akan tetapi pada masa sekarang, gadis-gadis Jawa justru gandrung celana jean, agar kelihatan modern dan tidak “kuno”. Akibat lebih lanjut ukuran nilai sosial budaya juga berubah, yaitu menganggap biasa gadis memakai celama jean itu.Prabu Sri Aji Jayabaya dari Kadhiri (Mawenang), ditahun 1010, pernah meramalkan, yang berbunyi: “Yen mbesuk wong wadon, wus nganggo sandhangane wong lanang, wong wadon bakal ilang wirange, wong lanang ilang kaprawirane, kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange”.
Banyak contoh adat-istiadat yang hilang atau berubah, seperti tata penghormatan, pendidikan, cara mencari menantu, tata panembah, tata cara makan, dsb. Dengan adanya perubahan itu, maka berubah pula nilai-nilai sosial budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat kita. Inilah fenomena yang ada di tengah-tengah tata pergaulan kita. Mengapa merupakan fenomena, karena baik masyarakat, maupun para budayawan sendiri juga dalam posisi kebingungan, sebagai akibat derasnya arus informasi, dan teknologi yang tengah melanda tata kehidupan kita.

B. Masalah yang ada.
Kalau kita mau studi pada masyarakat Jepang atau Korea yang sama-sama orang timur, mereka sebagai Negara yang sudah maju, tetapi dalam hal adat-istiadatnya, mereka memegang teguh.Misal: Pakaian tradisional mereka, sikap mereka, tata panembah mereka. Kalau kemudian mengapa masyarakat kita (khususnya masyarakat Jawa), sudah tidak konsisten pada adat-istiadat, maka H. Mardiyanto mantan Mendagri pada pidato kunci di konfrensi Internasional Kebudayaan Jawa 2008, mengatakan bahwa bangsa yang kehilangan harga diri, kepercayaan diri dan jatidiri, maka bangsa itu sebenarnya kehilangan segala-galanya. Bangsa Indonesia, juga orang Jawa, pada saat ini rupanya dalam posisi baru kehilangan itu.Inilah masalah yang ada pada kita.



C. Potensi yang ada
Sebenarnya dalam adat-istiadat tergenggam peristiwa sejarah, dongeng, legenda, mitos, ceritera rakyat, tata upacara, kepercayaan, budi pekerti, filsafat, tata krama, dongeng waktu mau tidur, penglipur lara, dsb. Sayangnya bangsa kita yang memiliki adat-istiadat itu tidak menyadari akan hal itu. Padahal banyak pesan yang tergenggam dalam adat-istiadat itu. Itulah mengapa adat-istiadat menjadi memiliki nilai sosial budaya bangsa pemilik adat-istiadat itu.
Sebenarnya untuk masyarakat kita, kondisi pada saat ini dapat dimaklumi. Mengapa sampai sekarang mereka masih menganggap kebudayaannya adi luhung.Bangsa kita, khususnya Jawa sebenarnya tahu, bahwa kebudayaannya meninggalkan adat-istiadat atau tata cara yang baik, dalam bidang pergaulan, dalam bidang pemerintahan, birokrasi, kepemimpinan, politik, dan tata sosial, serta tata nilai yang baik. Akan tetapi karena pesan-pesan itu disusun dalam bahasa Jawa, sementara anak bangsa, akibat kebijakan Pemerintah tahun l975, kurikulum bahasa daerah (Jawa) di hapus,maka kita memahami bahwa generasi sekarang yang gaul, yang mendapat pengaruh modernisasi, lalu menganggap “kuno” kebudayaanya sendiri.
Banyak pesan yang tergenggam dalam adat-istiadat itu, disampaikan dalam bentuk “pepindhan, paribasan, sanepa, cadrasangakala” dan sebagainya, sementara si “muda” tidak memahami, tetapi yang “tua” tak mampu menterjemahkan.Misal: adat–istiadat mencari menantu, tata cara seorang pemimpim, tata cara pergaulan si muda dan si tua, tata cara makan, tata cara menerima tamu, tata cara memberi salam, berpakaian, bersoleh, dan banyak lagi.Ini fenomena yang ada. Sementara itu masyarakat, para budayawan tidak mampu berbuat apa-apa, karena tidak memiliki kewenangan dan wewenang. Masyarakat kita yang paternalistis menunggu kebijakan pemeritah atau kebijakan orang yang memiliki wewenang, tetapi justru orang yang diberi wewenang tidak tahu, tidak mau tahu, tetapi tidak mau bertanya.

D. Usaha yang harus dilakukan
Tidak ada istilah terlambat. Pada saat ini ada instansi yang perlu diacungi jempol yang sadar, bahwa adat-istiadat sebenarnya mengandung pesan pendidikan, nasehat, larangan, harapan, ajaran pergaulan, kepemimpinan, tata pergaulan, dsb. Langkah itu perlu kita dukung.Kalau Jawa tengah memiliki 29 kabupaten dan 6 kota, apabila kita mau menginventarisasi dan mengindentifikasikan, maka dalam masyarakat kita sesuai kondisi geografisnya, dialek bahasanya, sebenarnya kita pasti memiliki adat-istiadat yang dalam aplikasinya dalam dimuat dalam sejarah, dongeng, legenda, ceritera rakyat, dongengsebelum tidur, dongeng penglipur lara, tata upacara, tata pergaulan,tata penghormatan,tata panembah,tata cara membangun rumah,bersih desa (merti desa), dan sebagainya.
Senyampang program Gubernur kita “Bali desa, mbangun desa” (buka “ndesa” ). Kata “ndesa” konotasinya “orang yang tidak tahu adat-istiadat”. Penulis sudah pernah menyampaikan “perbaikan itu”. Pak Gubernur menerima, karena semula beliau menganggap kata “ndesa” artinya “lebih menekankan”. Kalau kata “mbandung artinya menekankan pergi ke Bandung, akan tetapi kata ndesa lain artinya.
Jadi sesuai program pak Gubernur, menurut hemat penulis, adat-istiadat perlu kembali dilestarikan dan dikembangkan, terutama adat-istiadat yang memiliki arti yang baik. Misalnya: Tata pergaulan, tata krama, tata perhormatan, tata kepemimpinan, tata birokrasi, dan lain-lain adat-istiadat yang memiliki makna nasehat, sangsi, larangan, pendidikan moral, pendidikan suka kerja, gemi nastiti, ati-ati, temen, rigen, madhep mantep, tekun, dsb.
Dimana ajaran atau nilai social budayanya ditemukan,jawabnya ada pada sejarah,dongeng,babad,mitos,ceritera rakyat,tata upacara,tata panembah,dongeng waktu menidurkan anak,dongeng panglipur lara,fable (dongeng hewan),dsb.Oleh karena pesan-pesan itu ada pada khasanah itu,penulis menyarankan:
1. Pemda Kab/ Kota disadarkan kembali, bahwa pada saat ini bangsa kita memerlukan tuntunan, yang diambil dari bumi kelahirkan sendiri.
2. Dimohon tiap kab/kota memilih 3-5 saja ceritera rakyat, apakah dongeng, apakah babad, apakah mitos, apakah legenda, apakah tata upacara, tata panembah, dsb
3. Ditulis kembali dan digali maknanya, apakah makna pendidikan, makna nasehat, makna ajaran, sangsi, larangan, dsb, agar masyarakat tahu, bahwa sebenarnya ceritera itu mengandung ajaran kearifan lokal.
4. Hiasi dengan gambar-gambar yang menarik, petik patisarinya.
5. Susun jadi buku, dan dijadian bahan pembelajaran di SD-SD, TK, SMP, dsb.
Mari kita lawan ceritera-ceritera asing, yang mulai meracuni anak-anak kita.Misal: di Banyumas ada acara “Begalan”. Coba disusun ceritera yang baik, lalu ditafsirkan maknanya, ambil pati sarinya yang bersifat kearifan local. Di Pekalongan ada cerietara Nyi Lanjar, di Pemalang ada certera “si Geseng”, di Pati ada ceritera Rara Suli, di Semarang ada cerietara Ki Pandanaran, di Kendal ada ceritera Paku waja, di Klaten dengan Rara Jongrangnya, dan banyak lagi. Kalau tiap kab/kota membuat 3 atau 5 buku dalam satu tahun, maka hasilnya: kalau tiap kab/kota 3 buku =108 buku, kalau 5 buku=185. Kalau dicetak, dan disebar ke sekolah maka tiap tahun ada l08 –l85 buku. Dalam 5 tahun berapa?

E. Penutup
Tangis tidak akan menolong, sesal kemudian tidak berguna. Senyampang masih banyak orang-orang kita yang bijak, senyampang masih banyak yang memahami bahasa Jawa, memahami adat-istiadat daerah, mari kita bahu membahu. Tidak usah mencari “kambing hitam”, “Mumpung isih padhang rembulane, mumpung isih jembar kalangane”
Semoga menjadi bahan pemikiran kita bersama.

Semarang,24 Februari 2010


Prof. Dr. Dr. Soetomo,WE, M.Pd.
Dosen PPS STIEPARI dan UKSW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar