Powered By Blogger

Minggu, 01 Februari 2015

MENANGANI KESENIAN YANG “TERLUNTA” DI JALANAN

Sebuah pemandangan yang “memelas”, bahwa apabila kita berkendaraan dan liwat ke TRAFIC LIGHT, kita tentu melihat pemandangan rombongan kesenian rakyat “mbarang dengan memelas “ di jalan-jalan itu Pada saat lampu merah menyala, mereka terus menari-nari, sedang yang lain berputar-putar sambil menyodorkan kantong meminta sumbangan. Mereka terus bergerak sesuai warna lampu. Artinya kalau yang merah ada di utara, mereka bergerak ke utara dan terus menari, sambil yang lain mengedarkan kantong sokongan, begitu seterusnya. Sementara sekelompok yang lain, biasanya tiga orang, memukul tetabuhan dengan alat apa adanya, sebagai iringan penarinya. Malah ada, karena tidak memiliki peralatan tetabuhan, mereka menggunakan tape recorder dengan caset iringan yang telah direkam. Inilah gambaran nyata, tetapa “memelasnya” kondisi kesenian rakyat, apa itu jathilan, reog, kuda lumping, atau kesenian apa saja, mereka berusaha mempertahankan keseniannya sambil “mbarang” dalam usaha mencari kehidupan yang khalal. ”Kata “mbarang” Artinya mereka menjajakan keseniannya di tempat yang dianggap rame, sambil mereka dengan memelas meminta sumbangan suka rela. Inilah potret kondisi kesenian rakyat Indonesia yang terdesak kesenian asing. Mereka berusaha mempertahankan kesenian tinggalan nenek moyangnya, dengan kekuatan sendiri, sambil mencari atau mengais uang ala kadarnya yang halal, untuk dapat hidup dan mempertahankan kebudayaannya agar tetap eksis. Apakah kondisi seperti itu akan dibiarkan, atau kondisi itu apakah akibat banyaknya pengangguran, atau banyaknya kemiskinan yang diderita. Jawabnya bisa ya bisa tidak. Yang jelas ada makna yang tersirat, mereka ingin eksis hidup di suasana himpitan ekonomi, mereka ingin juga mempertahankan keseniannya yang mereka miliki untuk dapat dijadikan wahana mencari atau mengais rejeki yang halal, inilah kondisi “memelas” yang perlu ditangani dengan stretegi yang bijaksana. Kalau kondisi itu dilarang, atau diberhentikan, kerugian besar buat mereka dan juga kita, akan kita rasakan. Kalau mereka diberhentikan, maka apa yang terjadi, lahir sejumlah pengangguran di daerah-daerah disatu pihak, sedang dilain pihak kesenian rakyat ini akan punah digilas oleh kebijaan yang tidak bijaksana. Sebaliknya kalau dibiarkan, akan mengotori pemandangan kota, yang memberikan indikator betapa pemerintah kurang memperhatikan kehidupan budaya rakyat bangsanya. Inilah fenomena yang dihadapi pemerintah, dan juga dihadapi pendukung kesenian rakyat itu. Penulis mengusulkan langkah-langkah bijak sebagai berikut.
1. Kelompok kesenian yang “mbarang” di kumpulkan, diberi pengarahan, dilatih agar lebih profesional, dididik agar memahami apa hakikat kesenian.
 2. Walikota atau bupati, dapat menugasi instansi yang relevan untuk mendidik, melatih, dan melakukan pembinaan.
 3. Walikota meminta kepada :
a. Hotel-hotel berbintang yang ada dikotanya, untuk secara bergilir, ”nanggap” atau mementaskan mereka, misalnya untuk menyambut tamu, atau untuk meriahkan apa, dengan bayaran yang layak. Kalau di kota Semarang ada 20 hotel berbintangberarti tiap 20 hari mereka wajib mementaskan.
b. Meminta mall-mall untuk mementaskan kesenian rakyat yang dikirim walikota, secara bergilir sesuai jumlah harinya, dengan bayaran yang wajar
c. Para pimpinan SKPD, untuk juga mementaskan dikantornya, yang gilirannya diatur sedemikian rupa, sehingga secara adil, kesenian rakyat yang ditampung Dinas yang ditugasi, dapat disalurkan, untuk dipentaskan, dengan memperoleh imbalan yang wajar. d. Dengan adanya aturan itu, maka mbrarang di jalan-jalan sudah dihentikan, dan para pemilik kesenian rakyat dan pendukungnya dapat terus eksis, dapat hidup dan membantu kehidupan, sehingga berkurang angka pengangguran. Butuh 


Penangan yang Tepat
Strategi ini memang perlu penanganan yang tegas, agar kesenian dari luar kota masuk, karena mereka tahu, bahwa kalau di kota Semarang, mereka merasa hidup. Jadi tegasnya, kesenian rakyat yang ada di Kota Semarang yang lebih dahulu diutamakan, kecuali memang kesenian itu bermutu, profesional, dan pemakai mau mementaskan. Kondisi ini harus segera diatasi, agar pemadangan yang memelas dan mengotori suasana dapat dihilangkan. Disadari bahwa penanganan itu juga tidak mudah, bisa terjadi karena salah paham, mereka yang di “garuk” mau dibina malah lari ketakutan. Oleh sebab itu, pendekatan manusiawi, familier harus digunakan. Dinas yang ditugasi, misalnya Dinas kebudayaan dan pariwisata, harus siap dengan segala fasilitas pembinaan, mempersiapkan tenaga pelatih tambahan yang kreatif, sehingga tampilan mereka ketika di Hotel atau di Mall-mall dan instansi, lebih terlihat profesional dan atraktif. Tegasnya strategi penanganan kesenian rakyat yang mbarang di bang jo, harus dihentikan. Langkah bijak harus dilakukan, sambil melakukan pembinaan dan pelestarian kesenian rakyat. Siapa lagi yang akan menolong mereka agar mereka eksis, selain kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar