Powered By Blogger

Minggu, 01 Februari 2015

MITOS "RATU ADIL"

Sejak kapan mitos ‘Ratu Adil’ muncul masih butuh penelitian dan pengkajian mendalam.  Namun bisa diperkirakan semasa dengan lahirnya ‘Jangka Jayabaya’ dan ceritera mitos tentang ‘Sabdapalon Nayagenggong’.  Bila dirunut melalui literatur Jawa yang ada, maka lahirnya mitos-mitos tersebut pada jaman ‘Kapujanggan’ di Keraton Surakarta.  Suatu masa yang bisa disebut sebagai ‘jaman keemasan Jawa’ di bidang sastra, budaya, dan merupakan ‘kebangkitan’ spiritualisme Jawa.
Jaman kapujanggan saya sebut sebagai ‘masa kebangkitan spiritualisme Jawa’ dengan alasan bahwa di jaman itu para pujangga telah menghasilkan karya-karya sastra spiritual Jawa melanjutkan ‘kesadaran Jawa’ yang dirintis pada jaman Sultan Agung.  Dimana pada pemerintahan Suiltan Agung ini mulai disusun kembali: aksara Jawa ‘hanacaraka’, kalender Jawa, dan piwulang spiritualisme Jawa ‘Sastra Gendhing’.
Kepiawaian para pujangga bahwa karya-karyanya selalu dirujukkan ke masa sebelumnya.  Baik masa masuknya budaya dan peradaban Hindu-Buddha maupun masa mulai masuknya budaya dan peradaban Islam.  Termasuk kepiawaian tersebut, para pujangga selalu ‘mengakukan’ karyaciptanya sebagai karya para wali atau raja yang berkuasa.  Hal ini seperti melanjutkan tradisi para empu-empu penyusun kitab-kitab kakawin yang selalu menyatakan karyanya atas perintah atau persembahan kepada para raja.
Menariknya, ketika kita kaji karya sastra yang ‘nyebal’, para pujangga tidak pernah mencantumkan jatidirinya atau menggunakan nama samaran.  Contohnya: Serat Darmagandhul dan Gatholoco, pujangganya menyebut dirinya ‘Ki Kalamwadi’ yang arti harfiahnya kemaluan laki-laki (penis).  Sedang karya sastra yang mewacanakan mitos ‘Ratu Adil’ tidak diketahui penulisnya.  Kalau toh kemudian muncul ‘nama-nama dugaan’ adalah asumsi-asumsi dari para peneliti.  Sebut saja nama peneliti Jawa dan ke-Jawa-an: Drewes, Akkeren, dan sejumlah nama lain (asing dan pribumi).
Kita boleh membangun banyak pendapat tentang maksud dan tujuan para pujangga yang menyembunyikan diri ketika menulis karya-karya yang nyebal.  Boleh kita asumsikan bahwa para pujangga tersebut ‘ketakutan’ terhadap penguasa (Keraton dan Pemerintah penjajah Hindia Belanda).  Boleh juga kita asumsikan mengandung kepentingan mendukung dan ‘melawan’ sebaran agama Islam dan Kristen.  Artinya, kita boleh menduga bahwa kelahiran mitos-mitos dan ramalan (termasuk mitos Ratu Adil) bermuatan nuansa politik di jaman itu.  Nuansa politik yang saya maksud adalah ‘benturan antar peradaban’ Islam-Kejawen-Sekuler Barat (Belanda).  Dampak benturan mengakibatkan ‘gegar’ pada budaya dan peradaban Jawa yang kemudian mengusik nurani para pujangga (sujana sarjana).  Karya sastra ‘nyebal’ merupakan ekspresi nurani para pujangga yang terusik tersebut.
Mitos ‘Ratu Adil’ sejak kelahirannya sudah bermuatan politik kepentingan macam-macam.  Salah satu buktinya adalah ‘Babad Kediri’ yang ternyata merupakan ‘pesanan’ dari Residen Hindia Belanda yang ditempatkan disana (Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil).  Muatan politisnya berupa ‘perlawanan’ kaum Kejawen (Jawa Pedalaman) terhadap sebaran agama Islam.  Pada babad ini disebutkan bahwa akan datang ‘Ratu Adil’ sebagai penjelmaan Raja Jayabaya yang akan membangun kembali kejayaan Jawa. 
Mitos ‘Ratu Adil’ kemudian banyak disinggungkan dengan cerita ramalan yang populer dengan sebutan ‘Jangka Jayabaya’.  Dan ketika muncul kemudian tentang mitos ‘Sabdapalon Nayagenggong’, wacana datangnya ‘Ratu adil’ disinggungkan dengan mitos ‘Satria Piningit’.  Hal ini nampak jelas termuat dalam ‘Serat Darmagandhul’, dimana disebutkan bahwa ‘Satria Piningit’ yang akan mengentaskan Jawa adalah momongan ‘Sabdapalon Nayagenggong’.  Pengentasannya, diceriterakan dengan melakukan ‘pencerahan kembali’ akan jatidiri Jawa. Tersebut pada pupuh Pangkur sebagai berikut:
1.      Sabdapalon aturira, datan kesah amanggen wonten ngriki, mung netepi nami ulun, nami Ki Lurah Semar, kula nglimput saliring samar kang wujud, anglela ampungan padhang, den enget Sang Nata benjing.
2.      Yen wonten manusa Jawa, Jawi angangge mata siji, nami sepuh gaman kawruh, niku momongan-kula, tiyang jawan sun-wruhke bener lan luput, sigra tedhak Sri Narendra, arsa ngrangkul den inggati.
3.      Palonsabda Genggongnaya, samya musna kadhung Sri Narapati, kalangkung pangungunipun, njethung anenggak waspa, angandika he Sahid kawruhanamu, ing besuk nagri Blambangan, aran nagri Banyuwangi.
4.      Ya iku tengeranira, Nayagenggong bali mring tanah Jawi, anggawa momonganipun, mata siji kang wignya, wani lungguh anjajari maring ingsun, tan wruh asal sobat kenal, yen nakal binuwang tebih.
5.      Tyasira angkara murka, kumet loma krenah pitenah dadi, dana kawruh dana laku, mrih arja tanah Jawa, Sabdapalon isih ana sabrang nglimput, tengerane iki sendhang, banyune yen mari wangi.
6.      Wong Jawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam benjing, aganti agama kawruh, Sunan Kali turira, yen makaten utaminira Sang Prabu, kula prayogi mbekta, toya wangi sendhang niki.
Penulis Serat Darmagandhul menyembunyikan identitas dirinya sebagai ‘Ki Kalamwadi’. Nama samaran ini kemudian menimbulkan banyak dugaan-dugaan dari para peneliti.  Ada yang menduga sebagai nama samaran pujangga R.Ng. Ranggawarsita, ada yang menyebut nama samaran dari Kyai Ngabdulah Ibrahim Tunggul Wulung (mantan santri yang kemudian menjadi penginjil di wilayah Kediri di awal abad 19 M,).
Dugaan bahwa penulis Babad Kediri, Serat Darmagandhul, dan Serat Gatholoco adalah Ngabdulah Tunggul Wulung (Drewes dan Akeren yang dikutip Bambang Noorsena) menjadikan mitos ‘Ratu Adil’ di-’kristen’-kan atau dimuati gerakan misionaris Kristen di Jawa. 
Pada perkembangan selanjutnya, para peneliti Muslim menduga bahwa mitos ‘Ratu Adil’ sebagai pengadopsian kepercayaan akan hadirnya ‘Imam Mahdi’ yang akan muncul kembali menjelang kiamat nanti. 
Wacana hadirnya ‘Ratu Adil’ yang disinggungkan dengan Yesus Kristus yang akan turun kembali dan Imam Mahdi yang juga akan muncul kembali kiranya terlalu berlebihan.  Masalahnya, turunnya Yesus dan munculnya Imam Mahadi berkaitan dengan akan datangnya hari kiamat.  Sementara mitos ‘Ratu Adil’ (Jangka Jayabaya, Sabdapalon Nayagenggong, dll.) adalah wacana ‘kerinduan’ umat Jawa akan hadirnya suatu ‘pemerintahan negara’ yang adil dan mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.  Suatu kerinduan yang membumi dan mungkin terjadi. Kenyataan sejarah, pada jaman sebelumnya Jawa pernah mencapai ‘pemerintahan negara’ yang dirindukan rakyat tersebut.  Pada serat-serat kapujanggan, jaman keemasan Jawa disebutkan pada jaman Jayabaya (Kediri) dan Brawijaya (Majapahit).  Perlu juga dikaji jejak sejarah yang memberi peninggalan Borobodur dan Prambanan untuk membuktikan hal tersebut.
Mitos ‘Ratu Adil’ bila kita selisik mendalam adalah ungkapan pujangga yang mewakili ‘suara rakyat tertindas’.  Atau bisa disejajarkan dengan wacana yang digulirkan Bung Karno, ‘Amanat Penderitaan Rakyat’ (Ampera). Maka dengan sendirinya mitos tersebut akan selalu hidup di batin rakyat yang mendambakan pemerintahan negara yang berpihak kepada nasibnya. 
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa berabad-abad lamanya rakyat Jawa begitu intensif mendapatkan pengajaran kisah Mahabharata dan Ramayana lewat pagelaran wayang.  Maka sebenarnya internalisasi ‘kesadaran bernegara’ telah sedemikian rupa tertanamkan dalam hati sanubarinya.  Epos Mahabharata dan Ramayana bagaimanapun menceriterakan tentang etika bernegara.  Pada cerita Ramayana tentang konflik antar negara, sementara Mahabharata menyajikan perebutan kekuasaan dalam sebuah negara (Hastina).  Maka kedua cerita ini (versi Jawa) dikembangkan sedemikian rupa bermuatan ‘kearifan Jawa dalam bernegara’.  Contohnya, para satria-satria kerajaan manapun selalu diberi ‘bumi kesatrian’.  Cerminan pranata sosial Jawa di jaman dahulu berupa ‘tanah perdikan’ dan ‘kabuyutan’.  Wacana ini bisa dikaji untuk ‘merumuskan’ sistim ‘otonomi daerah’ yang berpijak pada kearifan asli Jawa dan Indonesia.
Perlu dicatat, setiap pagelaran wayang selalu dibuka dengan ‘janturan pambuka’:  “Swuh rep data pitana, negari pundi ta pinangka pambukaning carita. Inggih negari … (Nuswantara)  kang kaeka adhi dasa purwa, gemah ripah lohjinawi, tata tentrem kerta lan raharja ….. dst.” (Syahdan kisahnya, negara mana yang dijadikan pembuka ceritera.  Ya, negara … (Nusantara) …. Yang merupakan satu dari sepuluh besar dunia.  Berkedaulatan dan dihormati negara lain, serba ada dan murah segalanya, subur buminya, aman makmur dan sejahtera ..) à Cita-cita normatif Jawa dalam hal bernegara.
Janturan pambuka pagelaran wayang bukan sekedar untaian kalimat indah, tetapi juga mengandung kekuatan ‘mantra’ yang dimuatkan pada pakem irama, laras, dan pathet sulukan.  Gunanya untuk menanamkan (internalisasi) cita-cita bernegara ‘ala Jawa’.  Mungkin oleh budaya peradaban lain hal ini kurang dimengerti, maka sekedar dinilai sebagai ‘untaian kalimat indah’.
Ketika internalisasi bernegara sudah berjalan lama, maka rakyat Jawa berpandangan bahwa negara adalah kanugrahan (berkah) dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukan sekedar kontrak politik sebagaimana teori modern dari Barat. 
Dipandang sebagai berkah, maka negara mestinya dipimpin seorang ‘ratu’ yang adil dan arif bijaksana.  Pada wacana inilah, Jawa memandang bahwa pemimpin negara adalah orang yang ‘kewahyon’.  Ketika pemimpin bukan yang ‘kewahyon’, maka tidak membawa ‘berkah’ bagi rakyat.
Persoalan hingga lahir mitos ‘Ratu Adil’, bahwa pada kenyataannya pemerintah keraton dan penjajah Hindia Belanda jaman itu, jauh dari kriteria adil dan bijaksana.  Sementara rakyat yang mendambakan perubahan sudah tidak memiliki daya dan kekuatan. Demikian pula para ‘sujana sarjana’ (pujangga) yang hatinya berpihak kepada rakyat dibatasi ruang geraknya.  Maka kemudian mereka menggulirkan wacana ‘pemberontakan’ dengan melahirkan mitos akan hadirnya ‘Ratu Adil’. Dengan demikian, mitos ‘Ratu Adil’ bisa kita asumsikan sebagai ‘pemberontakan’ kaum cerdik pandai Jawa dalam mengupayakan perubahan sosial masyarakat.
Di jaman ini, meski tidak ada upaya pemberdayaan apapun, mitos akan hadirnya ‘Ratu Adil’ tetap ada di sanubari rakyat tertindas, terpinggirkan, dan terabaikan.  Getaran mitos tersebut secara alamiah akan semakin berkobar yang makna harfiahnya: kecewa terhadap pemerintahan yang ada.
Apa mau dikata, ketika perjalanan sejarah hingga saat ini sekedar melahirkan karakter yang jauh dari kepatriotan yang memuat ‘rasa bangga memiliki dan menjadi Indonesia’.  Sebagian besar diantara kita telah terjangkiti virus karakter yang akan menjerumuskan bangsa dan negeri ini ke ‘kiamat peradaban’.  Virus watak yang saya maksud: nyadhong, nggemblong, nyolong, nggarong, dan ndomblong.
Oleh karena itu, ‘Mitos Ratu Adil’ yang masih dipercayai rakyat akan memelihara sikap kritis terhadap keadaan negara dan bangsa yang sangat jauh citranya sebagaimana yang ada pada nurani rakyat, ‘negara adalah berkah Tuhan’. 
Pada dasarnya, mitos ‘Ratu Adil’ bisa dijadikan tema gerakan rakyat untuk bisa menghadirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar negarawan.  Peluangnya ada, karena sistim rekruting pemimpin secara pemilihan langsung oleh rakyat.  Persoalannya, bagaimana menanamkan kesadaran kepada rakyat pemilih untuk bisa memberikan suara kepada tokoh pilihan yang negarawan tersebut.  Untuk itu, penting diinternalisasikan piwulang dalam Serat Wulangreh yang mengarahkan untuk memilih pemimpin yang bukan botoh, durjana, pemadat, dan orang berjiwa bakul saudagar.
Rakyat pendamba hadirnya Ratu Adil pada kenyataannya lugu, sederhana, dan sudah pada posisi ‘kalah’.  Maka merupakan tantangan bagi para ‘sujana sarjana’ jaman ini untuk memandu pencerahan akan hak-haknya.  Perlu diingat pesan R.Ng. Ranggawarsita, hendaknya para sarjana sujana tidak ikut ‘kelu kalulun ing kalatidha’.  Ikut-ikutan menjadi pengkhianat Amanat Penderitaan Rakyat.  Berwatak nyadhong, nggemblong, nyolong, nggarong, dan ndomblong.
Gusti tidak sare, dan alam semesta akan selalu melakukan seleksi alamiahnya.  Peringatan kepada siapapun untuk tidak ‘ngundhuh wohing pakarti, diwelehake jaman’ 

(by:Ki Sondong Mandali- Semarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar