Powered By Blogger

Minggu, 01 Februari 2015

KONGRES KEBUDAYAAN JAWA 2014

Baru-baru ini muncul sebuah gebrakan di Indonesia kaitannya dengan kebudayaan Jawa sebagai peninggalan, ciri khas bangsa yang adi luhung, dengan diadakannya Kongres Kebudayaan Jawa Pertama semenjak kemerdekaan Indonesia.
Banyak rekomendasi untuk dikerjakan dimulai dari Provinsi Jawa Tengah, sebagai "the centre of Javanologi". hal-hal baik yang perlu dikerjakan sebagai langkah praktis untuk terus mempertahankan kebudayaan Jawa diantaranya : menggunakan Bahasa Jawa di instansi, kantor pemerintahan, pendidikan, di Jawa setiap seminggu sekali.

Foto kegiatan

kegiatan yang pembukaannya dilakukan di Institut Seni Indonesia di Surakarta ini menyedot perhatian pemerintah daerah, sehingga terjalin kemufakatan 3 petinggi propinsi di Jawa (Gubernur Jateng-Bapak H. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur-Bapak H. Soekarwo dan Ratu Keraton Yogyakarta -ISKS Hamengkubuwono X untuk urun dana dalam penyelenggaraan acara tersebut.




 

Sebagai Pembina Pemrakarsa Yayasan Kanthil, beliau mantan Gubernur Jawa Tengah, yang pernah menjadi Menteri dalam Negeri tengah anjuk kebolehan dalam melantunkan lagu bahasa Inggris dalam alunan musik Jawa.

MITOS "RATU ADIL"

Sejak kapan mitos ‘Ratu Adil’ muncul masih butuh penelitian dan pengkajian mendalam.  Namun bisa diperkirakan semasa dengan lahirnya ‘Jangka Jayabaya’ dan ceritera mitos tentang ‘Sabdapalon Nayagenggong’.  Bila dirunut melalui literatur Jawa yang ada, maka lahirnya mitos-mitos tersebut pada jaman ‘Kapujanggan’ di Keraton Surakarta.  Suatu masa yang bisa disebut sebagai ‘jaman keemasan Jawa’ di bidang sastra, budaya, dan merupakan ‘kebangkitan’ spiritualisme Jawa.
Jaman kapujanggan saya sebut sebagai ‘masa kebangkitan spiritualisme Jawa’ dengan alasan bahwa di jaman itu para pujangga telah menghasilkan karya-karya sastra spiritual Jawa melanjutkan ‘kesadaran Jawa’ yang dirintis pada jaman Sultan Agung.  Dimana pada pemerintahan Suiltan Agung ini mulai disusun kembali: aksara Jawa ‘hanacaraka’, kalender Jawa, dan piwulang spiritualisme Jawa ‘Sastra Gendhing’.
Kepiawaian para pujangga bahwa karya-karyanya selalu dirujukkan ke masa sebelumnya.  Baik masa masuknya budaya dan peradaban Hindu-Buddha maupun masa mulai masuknya budaya dan peradaban Islam.  Termasuk kepiawaian tersebut, para pujangga selalu ‘mengakukan’ karyaciptanya sebagai karya para wali atau raja yang berkuasa.  Hal ini seperti melanjutkan tradisi para empu-empu penyusun kitab-kitab kakawin yang selalu menyatakan karyanya atas perintah atau persembahan kepada para raja.
Menariknya, ketika kita kaji karya sastra yang ‘nyebal’, para pujangga tidak pernah mencantumkan jatidirinya atau menggunakan nama samaran.  Contohnya: Serat Darmagandhul dan Gatholoco, pujangganya menyebut dirinya ‘Ki Kalamwadi’ yang arti harfiahnya kemaluan laki-laki (penis).  Sedang karya sastra yang mewacanakan mitos ‘Ratu Adil’ tidak diketahui penulisnya.  Kalau toh kemudian muncul ‘nama-nama dugaan’ adalah asumsi-asumsi dari para peneliti.  Sebut saja nama peneliti Jawa dan ke-Jawa-an: Drewes, Akkeren, dan sejumlah nama lain (asing dan pribumi).
Kita boleh membangun banyak pendapat tentang maksud dan tujuan para pujangga yang menyembunyikan diri ketika menulis karya-karya yang nyebal.  Boleh kita asumsikan bahwa para pujangga tersebut ‘ketakutan’ terhadap penguasa (Keraton dan Pemerintah penjajah Hindia Belanda).  Boleh juga kita asumsikan mengandung kepentingan mendukung dan ‘melawan’ sebaran agama Islam dan Kristen.  Artinya, kita boleh menduga bahwa kelahiran mitos-mitos dan ramalan (termasuk mitos Ratu Adil) bermuatan nuansa politik di jaman itu.  Nuansa politik yang saya maksud adalah ‘benturan antar peradaban’ Islam-Kejawen-Sekuler Barat (Belanda).  Dampak benturan mengakibatkan ‘gegar’ pada budaya dan peradaban Jawa yang kemudian mengusik nurani para pujangga (sujana sarjana).  Karya sastra ‘nyebal’ merupakan ekspresi nurani para pujangga yang terusik tersebut.
Mitos ‘Ratu Adil’ sejak kelahirannya sudah bermuatan politik kepentingan macam-macam.  Salah satu buktinya adalah ‘Babad Kediri’ yang ternyata merupakan ‘pesanan’ dari Residen Hindia Belanda yang ditempatkan disana (Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil).  Muatan politisnya berupa ‘perlawanan’ kaum Kejawen (Jawa Pedalaman) terhadap sebaran agama Islam.  Pada babad ini disebutkan bahwa akan datang ‘Ratu Adil’ sebagai penjelmaan Raja Jayabaya yang akan membangun kembali kejayaan Jawa. 
Mitos ‘Ratu Adil’ kemudian banyak disinggungkan dengan cerita ramalan yang populer dengan sebutan ‘Jangka Jayabaya’.  Dan ketika muncul kemudian tentang mitos ‘Sabdapalon Nayagenggong’, wacana datangnya ‘Ratu adil’ disinggungkan dengan mitos ‘Satria Piningit’.  Hal ini nampak jelas termuat dalam ‘Serat Darmagandhul’, dimana disebutkan bahwa ‘Satria Piningit’ yang akan mengentaskan Jawa adalah momongan ‘Sabdapalon Nayagenggong’.  Pengentasannya, diceriterakan dengan melakukan ‘pencerahan kembali’ akan jatidiri Jawa. Tersebut pada pupuh Pangkur sebagai berikut:
1.      Sabdapalon aturira, datan kesah amanggen wonten ngriki, mung netepi nami ulun, nami Ki Lurah Semar, kula nglimput saliring samar kang wujud, anglela ampungan padhang, den enget Sang Nata benjing.
2.      Yen wonten manusa Jawa, Jawi angangge mata siji, nami sepuh gaman kawruh, niku momongan-kula, tiyang jawan sun-wruhke bener lan luput, sigra tedhak Sri Narendra, arsa ngrangkul den inggati.
3.      Palonsabda Genggongnaya, samya musna kadhung Sri Narapati, kalangkung pangungunipun, njethung anenggak waspa, angandika he Sahid kawruhanamu, ing besuk nagri Blambangan, aran nagri Banyuwangi.
4.      Ya iku tengeranira, Nayagenggong bali mring tanah Jawi, anggawa momonganipun, mata siji kang wignya, wani lungguh anjajari maring ingsun, tan wruh asal sobat kenal, yen nakal binuwang tebih.
5.      Tyasira angkara murka, kumet loma krenah pitenah dadi, dana kawruh dana laku, mrih arja tanah Jawa, Sabdapalon isih ana sabrang nglimput, tengerane iki sendhang, banyune yen mari wangi.
6.      Wong Jawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam benjing, aganti agama kawruh, Sunan Kali turira, yen makaten utaminira Sang Prabu, kula prayogi mbekta, toya wangi sendhang niki.
Penulis Serat Darmagandhul menyembunyikan identitas dirinya sebagai ‘Ki Kalamwadi’. Nama samaran ini kemudian menimbulkan banyak dugaan-dugaan dari para peneliti.  Ada yang menduga sebagai nama samaran pujangga R.Ng. Ranggawarsita, ada yang menyebut nama samaran dari Kyai Ngabdulah Ibrahim Tunggul Wulung (mantan santri yang kemudian menjadi penginjil di wilayah Kediri di awal abad 19 M,).
Dugaan bahwa penulis Babad Kediri, Serat Darmagandhul, dan Serat Gatholoco adalah Ngabdulah Tunggul Wulung (Drewes dan Akeren yang dikutip Bambang Noorsena) menjadikan mitos ‘Ratu Adil’ di-’kristen’-kan atau dimuati gerakan misionaris Kristen di Jawa. 
Pada perkembangan selanjutnya, para peneliti Muslim menduga bahwa mitos ‘Ratu Adil’ sebagai pengadopsian kepercayaan akan hadirnya ‘Imam Mahdi’ yang akan muncul kembali menjelang kiamat nanti. 
Wacana hadirnya ‘Ratu Adil’ yang disinggungkan dengan Yesus Kristus yang akan turun kembali dan Imam Mahdi yang juga akan muncul kembali kiranya terlalu berlebihan.  Masalahnya, turunnya Yesus dan munculnya Imam Mahadi berkaitan dengan akan datangnya hari kiamat.  Sementara mitos ‘Ratu Adil’ (Jangka Jayabaya, Sabdapalon Nayagenggong, dll.) adalah wacana ‘kerinduan’ umat Jawa akan hadirnya suatu ‘pemerintahan negara’ yang adil dan mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.  Suatu kerinduan yang membumi dan mungkin terjadi. Kenyataan sejarah, pada jaman sebelumnya Jawa pernah mencapai ‘pemerintahan negara’ yang dirindukan rakyat tersebut.  Pada serat-serat kapujanggan, jaman keemasan Jawa disebutkan pada jaman Jayabaya (Kediri) dan Brawijaya (Majapahit).  Perlu juga dikaji jejak sejarah yang memberi peninggalan Borobodur dan Prambanan untuk membuktikan hal tersebut.
Mitos ‘Ratu Adil’ bila kita selisik mendalam adalah ungkapan pujangga yang mewakili ‘suara rakyat tertindas’.  Atau bisa disejajarkan dengan wacana yang digulirkan Bung Karno, ‘Amanat Penderitaan Rakyat’ (Ampera). Maka dengan sendirinya mitos tersebut akan selalu hidup di batin rakyat yang mendambakan pemerintahan negara yang berpihak kepada nasibnya. 
Perlu dijadikan pertimbangan, bahwa berabad-abad lamanya rakyat Jawa begitu intensif mendapatkan pengajaran kisah Mahabharata dan Ramayana lewat pagelaran wayang.  Maka sebenarnya internalisasi ‘kesadaran bernegara’ telah sedemikian rupa tertanamkan dalam hati sanubarinya.  Epos Mahabharata dan Ramayana bagaimanapun menceriterakan tentang etika bernegara.  Pada cerita Ramayana tentang konflik antar negara, sementara Mahabharata menyajikan perebutan kekuasaan dalam sebuah negara (Hastina).  Maka kedua cerita ini (versi Jawa) dikembangkan sedemikian rupa bermuatan ‘kearifan Jawa dalam bernegara’.  Contohnya, para satria-satria kerajaan manapun selalu diberi ‘bumi kesatrian’.  Cerminan pranata sosial Jawa di jaman dahulu berupa ‘tanah perdikan’ dan ‘kabuyutan’.  Wacana ini bisa dikaji untuk ‘merumuskan’ sistim ‘otonomi daerah’ yang berpijak pada kearifan asli Jawa dan Indonesia.
Perlu dicatat, setiap pagelaran wayang selalu dibuka dengan ‘janturan pambuka’:  “Swuh rep data pitana, negari pundi ta pinangka pambukaning carita. Inggih negari … (Nuswantara)  kang kaeka adhi dasa purwa, gemah ripah lohjinawi, tata tentrem kerta lan raharja ….. dst.” (Syahdan kisahnya, negara mana yang dijadikan pembuka ceritera.  Ya, negara … (Nusantara) …. Yang merupakan satu dari sepuluh besar dunia.  Berkedaulatan dan dihormati negara lain, serba ada dan murah segalanya, subur buminya, aman makmur dan sejahtera ..) à Cita-cita normatif Jawa dalam hal bernegara.
Janturan pambuka pagelaran wayang bukan sekedar untaian kalimat indah, tetapi juga mengandung kekuatan ‘mantra’ yang dimuatkan pada pakem irama, laras, dan pathet sulukan.  Gunanya untuk menanamkan (internalisasi) cita-cita bernegara ‘ala Jawa’.  Mungkin oleh budaya peradaban lain hal ini kurang dimengerti, maka sekedar dinilai sebagai ‘untaian kalimat indah’.
Ketika internalisasi bernegara sudah berjalan lama, maka rakyat Jawa berpandangan bahwa negara adalah kanugrahan (berkah) dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukan sekedar kontrak politik sebagaimana teori modern dari Barat. 
Dipandang sebagai berkah, maka negara mestinya dipimpin seorang ‘ratu’ yang adil dan arif bijaksana.  Pada wacana inilah, Jawa memandang bahwa pemimpin negara adalah orang yang ‘kewahyon’.  Ketika pemimpin bukan yang ‘kewahyon’, maka tidak membawa ‘berkah’ bagi rakyat.
Persoalan hingga lahir mitos ‘Ratu Adil’, bahwa pada kenyataannya pemerintah keraton dan penjajah Hindia Belanda jaman itu, jauh dari kriteria adil dan bijaksana.  Sementara rakyat yang mendambakan perubahan sudah tidak memiliki daya dan kekuatan. Demikian pula para ‘sujana sarjana’ (pujangga) yang hatinya berpihak kepada rakyat dibatasi ruang geraknya.  Maka kemudian mereka menggulirkan wacana ‘pemberontakan’ dengan melahirkan mitos akan hadirnya ‘Ratu Adil’. Dengan demikian, mitos ‘Ratu Adil’ bisa kita asumsikan sebagai ‘pemberontakan’ kaum cerdik pandai Jawa dalam mengupayakan perubahan sosial masyarakat.
Di jaman ini, meski tidak ada upaya pemberdayaan apapun, mitos akan hadirnya ‘Ratu Adil’ tetap ada di sanubari rakyat tertindas, terpinggirkan, dan terabaikan.  Getaran mitos tersebut secara alamiah akan semakin berkobar yang makna harfiahnya: kecewa terhadap pemerintahan yang ada.
Apa mau dikata, ketika perjalanan sejarah hingga saat ini sekedar melahirkan karakter yang jauh dari kepatriotan yang memuat ‘rasa bangga memiliki dan menjadi Indonesia’.  Sebagian besar diantara kita telah terjangkiti virus karakter yang akan menjerumuskan bangsa dan negeri ini ke ‘kiamat peradaban’.  Virus watak yang saya maksud: nyadhong, nggemblong, nyolong, nggarong, dan ndomblong.
Oleh karena itu, ‘Mitos Ratu Adil’ yang masih dipercayai rakyat akan memelihara sikap kritis terhadap keadaan negara dan bangsa yang sangat jauh citranya sebagaimana yang ada pada nurani rakyat, ‘negara adalah berkah Tuhan’. 
Pada dasarnya, mitos ‘Ratu Adil’ bisa dijadikan tema gerakan rakyat untuk bisa menghadirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar negarawan.  Peluangnya ada, karena sistim rekruting pemimpin secara pemilihan langsung oleh rakyat.  Persoalannya, bagaimana menanamkan kesadaran kepada rakyat pemilih untuk bisa memberikan suara kepada tokoh pilihan yang negarawan tersebut.  Untuk itu, penting diinternalisasikan piwulang dalam Serat Wulangreh yang mengarahkan untuk memilih pemimpin yang bukan botoh, durjana, pemadat, dan orang berjiwa bakul saudagar.
Rakyat pendamba hadirnya Ratu Adil pada kenyataannya lugu, sederhana, dan sudah pada posisi ‘kalah’.  Maka merupakan tantangan bagi para ‘sujana sarjana’ jaman ini untuk memandu pencerahan akan hak-haknya.  Perlu diingat pesan R.Ng. Ranggawarsita, hendaknya para sarjana sujana tidak ikut ‘kelu kalulun ing kalatidha’.  Ikut-ikutan menjadi pengkhianat Amanat Penderitaan Rakyat.  Berwatak nyadhong, nggemblong, nyolong, nggarong, dan ndomblong.
Gusti tidak sare, dan alam semesta akan selalu melakukan seleksi alamiahnya.  Peringatan kepada siapapun untuk tidak ‘ngundhuh wohing pakarti, diwelehake jaman’ 

(by:Ki Sondong Mandali- Semarang)

MENANGANI KESENIAN YANG “TERLUNTA” DI JALANAN

Sebuah pemandangan yang “memelas”, bahwa apabila kita berkendaraan dan liwat ke TRAFIC LIGHT, kita tentu melihat pemandangan rombongan kesenian rakyat “mbarang dengan memelas “ di jalan-jalan itu Pada saat lampu merah menyala, mereka terus menari-nari, sedang yang lain berputar-putar sambil menyodorkan kantong meminta sumbangan. Mereka terus bergerak sesuai warna lampu. Artinya kalau yang merah ada di utara, mereka bergerak ke utara dan terus menari, sambil yang lain mengedarkan kantong sokongan, begitu seterusnya. Sementara sekelompok yang lain, biasanya tiga orang, memukul tetabuhan dengan alat apa adanya, sebagai iringan penarinya. Malah ada, karena tidak memiliki peralatan tetabuhan, mereka menggunakan tape recorder dengan caset iringan yang telah direkam. Inilah gambaran nyata, tetapa “memelasnya” kondisi kesenian rakyat, apa itu jathilan, reog, kuda lumping, atau kesenian apa saja, mereka berusaha mempertahankan keseniannya sambil “mbarang” dalam usaha mencari kehidupan yang khalal. ”Kata “mbarang” Artinya mereka menjajakan keseniannya di tempat yang dianggap rame, sambil mereka dengan memelas meminta sumbangan suka rela. Inilah potret kondisi kesenian rakyat Indonesia yang terdesak kesenian asing. Mereka berusaha mempertahankan kesenian tinggalan nenek moyangnya, dengan kekuatan sendiri, sambil mencari atau mengais uang ala kadarnya yang halal, untuk dapat hidup dan mempertahankan kebudayaannya agar tetap eksis. Apakah kondisi seperti itu akan dibiarkan, atau kondisi itu apakah akibat banyaknya pengangguran, atau banyaknya kemiskinan yang diderita. Jawabnya bisa ya bisa tidak. Yang jelas ada makna yang tersirat, mereka ingin eksis hidup di suasana himpitan ekonomi, mereka ingin juga mempertahankan keseniannya yang mereka miliki untuk dapat dijadikan wahana mencari atau mengais rejeki yang halal, inilah kondisi “memelas” yang perlu ditangani dengan stretegi yang bijaksana. Kalau kondisi itu dilarang, atau diberhentikan, kerugian besar buat mereka dan juga kita, akan kita rasakan. Kalau mereka diberhentikan, maka apa yang terjadi, lahir sejumlah pengangguran di daerah-daerah disatu pihak, sedang dilain pihak kesenian rakyat ini akan punah digilas oleh kebijaan yang tidak bijaksana. Sebaliknya kalau dibiarkan, akan mengotori pemandangan kota, yang memberikan indikator betapa pemerintah kurang memperhatikan kehidupan budaya rakyat bangsanya. Inilah fenomena yang dihadapi pemerintah, dan juga dihadapi pendukung kesenian rakyat itu. Penulis mengusulkan langkah-langkah bijak sebagai berikut.
1. Kelompok kesenian yang “mbarang” di kumpulkan, diberi pengarahan, dilatih agar lebih profesional, dididik agar memahami apa hakikat kesenian.
 2. Walikota atau bupati, dapat menugasi instansi yang relevan untuk mendidik, melatih, dan melakukan pembinaan.
 3. Walikota meminta kepada :
a. Hotel-hotel berbintang yang ada dikotanya, untuk secara bergilir, ”nanggap” atau mementaskan mereka, misalnya untuk menyambut tamu, atau untuk meriahkan apa, dengan bayaran yang layak. Kalau di kota Semarang ada 20 hotel berbintangberarti tiap 20 hari mereka wajib mementaskan.
b. Meminta mall-mall untuk mementaskan kesenian rakyat yang dikirim walikota, secara bergilir sesuai jumlah harinya, dengan bayaran yang wajar
c. Para pimpinan SKPD, untuk juga mementaskan dikantornya, yang gilirannya diatur sedemikian rupa, sehingga secara adil, kesenian rakyat yang ditampung Dinas yang ditugasi, dapat disalurkan, untuk dipentaskan, dengan memperoleh imbalan yang wajar. d. Dengan adanya aturan itu, maka mbrarang di jalan-jalan sudah dihentikan, dan para pemilik kesenian rakyat dan pendukungnya dapat terus eksis, dapat hidup dan membantu kehidupan, sehingga berkurang angka pengangguran. Butuh 


Penangan yang Tepat
Strategi ini memang perlu penanganan yang tegas, agar kesenian dari luar kota masuk, karena mereka tahu, bahwa kalau di kota Semarang, mereka merasa hidup. Jadi tegasnya, kesenian rakyat yang ada di Kota Semarang yang lebih dahulu diutamakan, kecuali memang kesenian itu bermutu, profesional, dan pemakai mau mementaskan. Kondisi ini harus segera diatasi, agar pemadangan yang memelas dan mengotori suasana dapat dihilangkan. Disadari bahwa penanganan itu juga tidak mudah, bisa terjadi karena salah paham, mereka yang di “garuk” mau dibina malah lari ketakutan. Oleh sebab itu, pendekatan manusiawi, familier harus digunakan. Dinas yang ditugasi, misalnya Dinas kebudayaan dan pariwisata, harus siap dengan segala fasilitas pembinaan, mempersiapkan tenaga pelatih tambahan yang kreatif, sehingga tampilan mereka ketika di Hotel atau di Mall-mall dan instansi, lebih terlihat profesional dan atraktif. Tegasnya strategi penanganan kesenian rakyat yang mbarang di bang jo, harus dihentikan. Langkah bijak harus dilakukan, sambil melakukan pembinaan dan pelestarian kesenian rakyat. Siapa lagi yang akan menolong mereka agar mereka eksis, selain kita.

Senin, 25 Februari 2013

REKOMENDASI SALATIGA UNTUK PENGELOLAAN KEBUDAYAAN NUSANTARA YANG BHINEKA TUNGGAL IKA

menghadapi tantangan jaman yang berasal dari dunia pendidikan, membuat gerah pakar-pakar budaya dan sejarah, pemerhati bahasa jawa, dan kawruh budaya Jawa, mengenai wacana akan adanya penghapusan mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah, dan digabungkan dengan mapel SBK. persoalannya, sekarang ini para profesor budaya jawa sedang dan masih giat untuk mengembalikan citra asli, gambaran dari Indonesia, yakni adanya bahasa daerah (disini yang dimaksud adalah Bahasa Jawa). pasalnya penerus muda masyarakat Jawa begitu mudah meninggalkan budaya yang luhur dan tinggi nilainya. kita tahu, bahasa Jawa adalah bahasa dengan kosakata terbanyak di seluruh dunia. hal ini seharusnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia, khususnya penduduk asli keturunan Jawa. untuk itu pada tanggal 14 Februari 2013, di Salatiga, tokoh-tokoh perwakilan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat yang diprakarsai oleh Ketua Yayasan Bahasa Jawa Kanthi, mengadakan "Dialog Perjuangan Kebudayaan Jawa" berikut adalah isi rekomendasi dari dialog tersebut: 1. Pengelolaan dan pengembangan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, hendaknya ditangani secara bersama-sama oleh etnik/komunitas pemilik budaya lokal dengan Pemerintah. Kelembagaan oleh komunitas pemilik budaya lokal, dinamakan Dewan Kebudayaan Sukubangsa (Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Melayu, Jawa, Bali, dsb) sementara ditingkat Pusat/Nasional dinamakan Dewan Kebudayaan Nasional/Nusantara. Lembaga ini berperan sebagai pembuat kebijakan sekaligus penggerak dan pelaksana dalam perikehidupan berkebudayaan. Sementara kelembagaan Pemerintah, menyesuaikan jenjang administratif, misalnya Kementerian Kebudayaan di tingkat Pusat, Dinas Kabudayaan atau Balai Studi dan Konservasi Budaya di tingkat Propinsi, Kabupaten atau Kota. Fungsi dan peran lembaga ini adalah sebagai fasilitator dan pendukung kegiatan bekebudayaan sesuai strata dan lingkup wilayah kerjanya. 2. Meminta dan mendorong dilaksanakannya Konggres Kebudayaan Nusantara, dalam waktu secepatnya. 3. Mendorong diterapkannya nilai-nilai luhur yang bersumber dari kearifan lokal, dalam sistim pendidikan nasional, di semua jenjang. 4. Meminta Pemerintah/Negara lebih bersungguh-sungguh dalam memajukan semua kebudayaan lokal/etnik, dengan : a. membuat pusat-pusat studi, pelestarian dan pengembangan budaya etnik/lokal. b. mengadakan kegiatan festival budaya baik internal etnik maupun lintas suku (lintas nusantara), dan lain sebagainya. 5. Mendorong Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah revitalisasi aksara Nusantara. 6. Meminta Pemerintah/Negara agar mengalokasikan anggaran yang memadai bagi pengelolaan kebudayaan Nusantara. 7. Mendorong organisasi-organisasi kebudayaan untuk secara intensif menerapkan nilai-nilai budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari, di komunitas masing-masing. 8. Mendorong dibentuknya Forum Lintas Budaya Nusantara, yang menjadi wadah kebersamaan organisasi kebudayaan etnik/sukubangsa dalam lingkup nasional, dengan salah satu agendanya adalah menyelenggarakan konggres kebudayaan Nusantara. Demikian beberapa point pemikiran dan langkah strategis yang kami rekomendasikan kepada para pemangku kepentingan dalam jajaran Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan harapan untuk dapat ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. berikut Tokoh2 yang hadir pada Dialog ini. H. Mardiyanto; Prof. Dr. Soetomo WE; Drs. H. SUMARDJOKO, MBA, MM; IR. HADI WARATAMA; DR. TEGUH SUPRIYANTO; COKROWIBOWO SUMARSONO, S.Pd; Drs. MUGIYONO, MM; SUTRIMO, SE, MM... semoga langkah kongkrit akan segera diambil untuk memperjuangankan eksistensinya Budaya dan Bahasa Jawa di kancah pendidikan dan sejarah Indonesia.

Minggu, 15 Agustus 2010

WAWASAN BUDAYA

A. Manusia dan Budayanya
1. Asal Usul Bangsa Indonesia
Para sejararawan Barat berpendapat bahwa asal – usul bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia (Fu Nam, Yunan, dsb). Mereka juga berpendapat, bahwa mamalia di Indonesia adalah perpindahan dari daratan Asia ( Sukmono, 1959 )
2. Dari temuan terakhir World Heritage 2005, ternyata jenis homo Erectus, ditemukan di kawasan Sangiran (Sragen – Jawa Tengah). Dari data yang ada 50 individu yang mengalami evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Bahkan hasil penelitian dunia, baik yang dilakukan di Eropa, Afrika, Asia, Cina, bahkan terakhir di Iran, jumlahnya hanya sekitar 50 % dari yang ditemukan dan terkumpul di Sangiran dan di Jawa. Temuan di Sangiran mencapai 65 % sendiri dari temuan di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dsb
3. Dari kubah Sangiran, hasil penggalian terakhir terungkap bahwa penemuan manusia purba dan peralatannya, hewan purba, tumbuh – tumbuhan yang hidup masa itu, ditemukan tanpa putus dari 2 juta tahun yang lalu sampai 200.000 tahun yang lalu atau dari akhir Pliosen sampai akhir Plestosin. (World Heritage No. 593,2005)
4. Selanjutnya Sunandar yang melihat dari sudut religi berpendapat bahwa Tuhan adalah Maha Asih, Maha Murah, jadi bencana yang menimpa kubah Sangiran, tidak seluruh makhluk di sana tumpas, tetapi masih ada yang diselamatkan dan tetap hidup. Hal ini terbukti dengan cerita sejarah, legenda, dongeng, mitos, tentang Dewata Cengkar – Ajisaka, Ratu Baka – Era Mataram I, Raja – raja raksasa era Kediri Kuno, semua membuktikan bahwa itu sisa – sisa penduduk Sangiran dalam perkembangannya. Orang asing menggambarkan nenek moyang kita “raksasa“, para pendatang “ ksatria “
5. Dari pemahaman, ini menurut hemat saya :
a. Asal usul Bangsa Indonesia berasal dari Jawa ( Sangiran )
b. Tidak dipungkiri, bahkan karena kondisi Asia, maka pada 200.000 tahun yang lalu, banyak bangsa Asia yang hijrah ke Indonesia (Jawa) yang secara geologis masih bersambung (berhubungan). Jadi wajar kalau dalam pertemuan bangsa ada percampuran dengan Bangsa pendatang
6. Dengan demikian, teori agama dapat menjadi fenomena dan harus berhadapan dengan penemuan arkheologi, sebab penemuan fosil di Sangiran 2 juta tahun, sementara teori agama tidak lebih dari 200.000 tahun. Manusia tidak berasal dari satu tempat, tetapi dari berbagai tempat

B. Kekayaan Budaya
1. Di dunia Barat ada pemahaman yang perlu diluruskan, tentang pengertian “ logos “. Menurut konsep Yunani, semua “logos“ selalu berarti ganda. Yaitu “logos“ = nalar = logis = logika dan “logos“ = kata non nalar. “Logos“ sebagai “nalar“ = vernunft (Jerman), atau reason (Inggris), yang artinya kemampuan manusia mengungkapkan sesuatu seturut nalar. Bahkan dogmatika menganggap, bahwa yang tidak nalar itu bertentangan dengan hakikat Allah. Kekerasan hidup (agama) memprihatinkan ketika manusia tidak mampu nalar.
Sementara itu arti “logos“ = kata, atau Wort (Jerman), word (Inggris), mendapatkan tempat dalam kemampuan manusia membuka diri. Setiap manusia yang menggunakan “kata“ bertemu dengan manusia lain, yang lahir adalah “dialog“. Atas dasar pemahaman itu, maka yang benar arti “logos“ = nalar dan “logos“ = kata harus seiring dan sepaham.
Dengan demikian kalau pengertiannya hanya pada “logos = nalar“ dan memisahkan “logos = kata“, adalah rerupakan bentuk penghinaan pada semangat dialog. (Deshi Ramadhani, 2006)
2. Jadi kalau “logos” hanya diartikan “nalar“, yang muncul radikalisme, fanatisme, kekerasan, dan ketidak toleransi. Padahal kalau kita mengartikan “ logos “ = kata, pemahaman itu akan mengangkat tollere (Latin) dengan pihak lain, Logos = kata lebih bijak dari Logos = nalar.
Inilah sebenarnya fenomena yang ada pada saat ini. Hanya budaya Indonesia (Jawa) sajalah yang mampu angeskplanasikan “logos“ = nalar, ya “logos“ kata, secara terpadu, seiring, sehingga bangsa Indonesia terkenal mampu mengangkat martabat tollere ( toleransi )
Kita lihat kehadiran budaya asing seperti budaya India (Hindu dan Budha), Arab (Islam), Eropa (Kristen), dalam pola pemahaman Jawa tetap pada aras “nalar“ dan “kata“, sehingga di Indonesia (Jawa) tidak ada perang budaya (Agama)

3. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Prinsip penerimaan Bangsa Imdonesia (Jawa) pada pemahaman “ logos “ dengan arti yang luas, yaitu “nalar dan kata“ seiring, dan seturut pemikiran bangsa.
Hal inilah yang telah mengantar kehidupan bangsa yang mengetengahkan harmonis, dan telah mengantar membuat taman Indonesia menjadi “ BHINNEKA TUNGGAL IKA, tan hana dharma mangrwa“ yaitu pola kehidupan yang selalu mementingkan dialog. Apabila bangsa Indonesia lepas dari pemahaman ini, yang lahir adalah kekerasan, pertentangan, permusuhan, demonstrasi, serta ketidak rukunan.
Prinsip perpaduan pemahaman “logos = nalar dan kata“ adalah yang mengantar prinsip bangsa bersatu. Sayang pada era global ternyata sekarang ini logos hanya diartikan nalar, akibatnya kita lihat suasana sekarang, kita semua prihatin
4. Era sekarang adalah era kontradiksi. Artinya, disatu pihak manusia bertahan sikap kolektivitas, di pihak lain manusia Indonesia sudah kejangkitan penyakit individualistis. Kita lihat peristiwa politik budaya, yang satu ingin “Seni untuk Seni“ yang lain seni adalah untuk masyarakatnya (bangsanya). Inilah fenomena yang harus direnungkan.


C. Perlu Pewarisan
1. Pahami prinsip hukum kebudayaan menurut Arnold Toynbee bahwa kehidupan berjalan dari lahir – tumbuh – dewasa – runtuh.
2. Dengan adanya hukum ini, maka kebudayaan harus diwariskan pada generasi penerus agar kebudayaan tidak punah. Untuk menyadarkan hal ini, perlu di ingat semboyan Tri Dharma R. M. Said (Mangkunagara I), yaitu Melu handarbeni, kudu hangrukebi, mulat sarira hangrasa wani.
3. Metode yang cukup ampuh “ Sumur nggoleki timba “
4. Prinsip utama untuk menatap masa depan




YSBJKANTHIL DOCUMEN

WAWASAN BUDAYA

A. Manusia dan Budayanya
1. Asal Usul Bangsa Indonesia
Para sejararawan Barat berpendapat bahwa asal – usul bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia (Fu Nam, Yunan, dsb). Mereka juga berpendapat, bahwa mamalia di Indonesia adalah perpindahan dari daratan Asia ( Sukmono, 1959 )
2. Dari temuan terakhir World Heritage 2005, ternyata jenis homo Erectus, ditemukan di kawasan Sangiran (Sragen – Jawa Tengah). Dari data yang ada 50 individu yang mengalami evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Bahkan hasil penelitian dunia, baik yang dilakukan di Eropa, Afrika, Asia, Cina, bahkan terakhir di Iran, jumlahnya hanya sekitar 50 % dari yang ditemukan dan terkumpul di Sangiran dan di Jawa. Temuan di Sangiran mencapai 65 % sendiri dari temuan di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dsb
3. Dari kubah Sangiran, hasil penggalian terakhir terungkap bahwa penemuan manusia purba dan peralatannya, hewan purba, tumbuh – tumbuhan yang hidup masa itu, ditemukan tanpa putus dari 2 juta tahun yang lalu sampai 200.000 tahun yang lalu atau dari akhir Pliosen sampai akhir Plestosin. (World Heritage No. 593,2005)
4. Selanjutnya Sunandar yang melihat dari sudut religi berpendapat bahwa Tuhan adalah Maha Asih, Maha Murah, jadi bencana yang menimpa kubah Sangiran, tidak seluruh makhluk di sana tumpas, tetapi masih ada yang diselamatkan dan tetap hidup. Hal ini terbukti dengan cerita sejarah, legenda, dongeng, mitos, tentang Dewata Cengkar – Ajisaka, Ratu Baka – Era Mataram I, Raja – raja raksasa era Kediri Kuno, semua membuktikan bahwa itu sisa – sisa penduduk Sangiran dalam perkembangannya. Orang asing menggambarkan nenek moyang kita “raksasa“, para pendatang “ ksatria “
5. Dari pemahaman, ini menurut hemat saya :
a. Asal usul Bangsa Indonesia berasal dari Jawa ( Sangiran )
b. Tidak dipungkiri, bahkan karena kondisi Asia, maka pada 200.000 tahun yang lalu, banyak bangsa Asia yang hijrah ke Indonesia (Jawa) yang secara geologis masih bersambung (berhubungan). Jadi wajar kalau dalam pertemuan bangsa ada percampuran dengan Bangsa pendatang
6. Dengan demikian, teori agama dapat menjadi fenomena dan harus berhadapan dengan penemuan arkheologi, sebab penemuan fosil di Sangiran 2 juta tahun, sementara teori agama tidak lebih dari 200.000 tahun. Manusia tidak berasal dari satu tempat, tetapi dari berbagai tempat
B. Kekayaan Budaya
1. Di dunia Barat ada pemahaman yang perlu diluruskan, tentang pengertian “ logos “. Menurut konsep Yunani, semua “logos“ selalu berarti ganda. Yaitu “logos“ = nalar = logis = logika dan “logos“ = kata non nalar. “Logos“ sebagai “nalar“ = vernunft (Jerman), atau reason (Inggris), yang artinya kemampuan manusia mengungkapkan sesuatu seturut nalar. Bahkan dogmatika menganggap, bahwa yang tidak nalar itu bertentangan dengan hakikat Allah. Kekerasan hidup (agama) memprihatinkan ketika manusia tidak mampu nalar.
Sementara itu arti “logos“ = kata, atau Wort (Jerman), word (Inggris), mendapatkan tempat dalam kemampuan manusia membuka diri. Setiap manusia yang menggunakan “kata“ bertemu dengan manusia lain, yang lahir adalah “dialog“. Atas dasar pemahaman itu, maka yang benar arti “logos“ = nalar dan “logos“ = kata harus seiring dan sepaham.
Dengan demikian kalau pengertiannya hanya pada “logos = nalar“ dan memisahkan “logos = kata“, adalah rerupakan bentuk penghinaan pada semangat dialog. (Deshi Ramadhani, 2006)
2. Jadi kalau “logos” hanya diartikan “nalar“, yang muncul radikalisme, fanatisme, kekerasan, dan ketidak toleransi. Padahal kalau kita mengartikan “ logos “ = kata, pemahaman itu akan mengangkat tollere (Latin) dengan pihak lain, Logos = kata lebih bijak dari Logos = nalar.
Inilah sebenarnya fenomena yang ada pada saat ini. Hanya budaya Indonesia (Jawa) sajalah yang mampu angeskplanasikan “logos“ = nalar, ya “logos“ kata, secara terpadu, seiring, sehingga bangsa Indonesia terkenal mampu mengangkat martabat tollere ( toleransi )
Kita lihat kehadiran budaya asing seperti budaya India (Hindu dan Budha), Arab (Islam), Eropa (Kristen), dalam pola pemahaman Jawa tetap pada aras “nalar“ dan “kata“, sehingga di Indonesia (Jawa) tidak ada perang budaya (Agama)




3. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Prinsip penerimaan Bangsa Imdonesia (Jawa) pada pemahaman “ logos “ dengan arti yang luas, yaitu “nalar dan kata“ seiring, dan seturut pemikiran bangsa.
Hal inilah yang telah mengantar kehidupan bangsa yang mengetengahkan harmonis, dan telah mengantar membuat taman Indonesia menjadi “ BHINNEKA TUNGGAL IKA, tan hana dharma mangrwa“ yaitu pola kehidupan yang selalu mementingkan dialog. Apabila bangsa Indonesia lepas dari pemahaman ini, yang lahir adalah kekerasan, pertentangan, permusuhan, demonstrasi, serta ketidak rukunan.
Prinsip perpaduan pemahaman “logos = nalar dan kata“ adalah yang mengantar prinsip bangsa bersatu. Sayang pada era global ternyata sekarang ini logos hanya diartikan nalar, akibatnya kita lihat suasana sekarang, kita semua prihatin
4. Era sekarang adalah era kontradiksi. Artinya, disatu pihak manusia bertahan sikap kolektivitas, di pihak lain manusia Indonesia sudah kejangkitan penyakit individualistis. Kita lihat peristiwa politik budaya, yang satu ingin “Seni untuk Seni“ yang lain seni adalah untuk masyarakatnya (bangsanya). Inilah fenomena yang harus direnungkan.
C. Perlu Pewarisan
1. Pahami prinsip hukum kebudayaan menurut Arnold Toynbee bahwa kehidupan berjalan dari lahir – tumbuh – dewasa – runtuh.
2. Dengan adanya hukum ini, maka kebudayaan harus diwariskan pada generasi penerus agar kebudayaan tidak punah. Untuk menyadarkan hal ini, perlu di ingat semboyan Tri Dharma R. M. Said (Mangkunagara I), yaitu Melu handarbeni, kudu hangrukebi, mulat sarira hangrasa wani.
3. Metode yang cukup ampuh “ Sumur nggoleki timba “
4. Prinsip utama untuk menatap masa depan




YSBJKANTHIL DOCUMEN

MANGGA SINAU NEMBANG

Tembang utawi sekar punika wonten werni 3 :
1. Sekar Macapat
2. Sekar Tengahan
3. Sekar Ageng